Wednesday, 22 June 2016

Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia.[1] Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar. 
Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4). 
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5). 
Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga.[2] Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.[3]
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.”[4] Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.[5]
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[6]
Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[7]
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”[8]
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun[9]. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”[10] 
 Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.[11]
Do’a di Malam Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”[12]
Tanda Malam Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”[13]
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. [14]”[15]
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”[19]
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.[20]
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[23]
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”[24]
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah,
  1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[25]
  2. Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
  3. Memperbanyak istighfar.
  4. Memperbanyak do’a.[26]
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan

[1] Lihat Zaadul Masiir, 9/182.
[2] Lihat Zaadul Masiir, 9/192.
[3] Lihat Zaadul Masiir, 9/194.
[4] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341
[5] Zaadul Masiir, 9/191.
[6] HR. Bukhari no. 1901.
[7] HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169.
[8] HR. Bukhari no. 2017.
[9] Fathul Bari, 4/262-266.
[10] HR. Bukhari no. 2021.
[11] Fathul Bari, 4/266.
[12] HR. Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun ...” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at hal. 39.
[13] HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18/361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.
[14] HR. Muslim no. 762.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/149-150.
[16] HR. Ahmad 2/385, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] HR. Muslim no. 1175.
[18] Inilah pendapat yang dipilih oleh para salaf dan ulama masa silam mengenai maksud hadits tersebut. Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 332.
[19] HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174.
[20] Latho-if Al Ma’arif, hal. 331.
[21] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 329.
[22] ‘Aunul Ma’bud, 4/176.
[23] HR. Bukhari no. 1901.
[24] Latho-if Al Ma’arif, hal. 341
[25] Dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.”
[26] Lihat Fatwa Al Islam Su-al wa Jawab no. 26753.

Monday, 20 June 2016



Saban tahun kita menyambut Nuzul Al-Qur’an, namun adakah kita menghayati dengan sebenar ibrah di sebalik peristiwa tersebut. Allah SWT telah menurunkan al-Quran sebagai satu mukjizat terbesar yang membuktikan kerasulan Nabi Muhammad SAW dan kewujudan Allah SWT dengan segala sifat-sifat kesempurnaannya. Membaca al-Quran serta menghayati dan mengamalkannya adalah satu ibadat sunnah.
.
Maka peristiwa Nuzul al-Quran memberi makna terlalu besar kepada umat Islam dan kehidupan Nabi SAW khasnya.  Ayat al-Quran diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan Malaikat Jibril secara berperingkat-peringkat hingga menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada kita hari ini.
Al-Quran dinukilkan kepada kita secara mutawatir, pasti dan qat’i serta ditulis mashaf yang hari ini lebih dikenali sebagai mashaf ‘Uthmani. Adalah wajar bagi umat Islam mengkaji sejarah al-Quran dan perkara yang berkaitan dengannya.
.
.
NUZUL AL QURAN ( 24 RAMADHAN )
.
Peristiwa agung dan istimewa dalam sejarah umat ialah malam diturunkan al-Quran (Nuzul al-Quran) yang berlaku pada 24 Ramadhan. Ia juga disebut Allah sebagai malam yang diberkati (lailatin mubarakah).
Firman Allah SWT.:

  1. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran itu pada malam yang berkat.” (Surah al-Dukhan ayat 3).
  2.  “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar.” (Surah al-Qadr, ayat 1).
  3. Ramadan yang padanya diturunkan al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekelian manusia, dan menjadi keterangan yang menjelaskan petunjuk dan menjelaskan perbezaan antara yang benar dan yang salah.”  (Surah al-Baqarah, ayat 185)

‘Malam yang berkat’ yang dinyatakan Allah SWT dalam surah al-Dukhan itu adalah malam yang penuh dengan kebaikan dan rahmat, yang lebih besar keutamaannya dari amalan seribu bulan. Maka Allah SWT telah memilih tarikh turun kalam-Nya buat pemimpin umat sejagat Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan kemuliaan itu untuk berlaku pada hari yang mulia iaitu malam al-Qadr itu sendiri.

Ketiga2 ayat ini menunjukkan penurunan berlaku pada bulan Ramadhan dan secara khususnya ia diturunkan pada malam al-Qadr yang merupakan suatu anugerah Allah buat mereka yang menghidupkan malam-malam pada bulan Ramadhan.
.
.
MAKNA NUZUL AL QURAN
.
Nuzul al-Quran bererti penurunan al-Quran dari langit kepada Nabi Allah yang terakhir. Perkataan Nuzul dalam pelbagai wajah sama Ada kata nama, kata perbuatan atau lainnya digunakan dalam al-Quran sebanyak lebih kurang 290 kali. Sebagai contoh, “Dia yang telah…..menurunkan hujan.” (al-Baqarah:22), dan “Dialah….yang menurunkan Taurat Dan Injil.” (Ali Imran:3).
.
‘Nuzul’ bererti turun atau berpindah, iaitu berpindah dari atas ke bawah atau turun dari tempat yang tinggi. ‘Al-Quran’ pula bermaksud bacaan atau himpunan, kerana al-Quran itu untuk dibaca oleh manusia dan di dalamnya terhimpun ayat-ayat yang menjelaskan pelbagai perkara yang meliputi soal tauhid, ibadat, jinayat, muamalat, munakahat, sains, teknologi dan sebagainya.
.
Kelebihan al-Quran tidak ada satu perkara pun yang terlepas atau tertinggal di dalam al-Quran. Dengan lain perkataan segalanya terdapat di dalam al-Quran. Firman Allah:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ ﴿٣٨

Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam kitab Al-Quran ini; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan). (Al-An’am:38)
.
Al-Quran adalah hidayah, rahmat, syifa, nur, furqan dan pemberi penjelasan bagi manusia. Segala isi kandungan al-Quran itu benar. Al-Quran juga dikenali sebagai Al-Nur bererti cahaya yang menerangi, al-Furqan bererti yang dapat membezakan di antara yang hak dan batil dan al-Zikr pula bermaksud yang memberi peringatan.
.
.
TARIKH SEBENAR NUZUL AL-QURAN
.
Secara tradisinya umat Islam di Malaysia memperingati dan menyambut peristiwa Nuzul Al-Quran pada 17 Ramadhan, yang sepatutnya dibuat sambutan pada setiap 24 Ramadhan.
.
Peristiwa Nuzul Al-Quran yang dikatakan berlaku pada malam Jumaat, 17 Ramadan, tahun ke-41 daripada keputeraan Nabi Muhammad SAW., bersamaan dengan tanggal 6 Ogos 610M,  ketika baginda sedang beribadat di Gua Hira. Namun sesungguhnya pendapat yang lebih tepat tentang turunnya al-Quran ialah pada malam Isnin, tanggal 24 Ramadhan bersamaan 13 Ogos 610 M.
.
Pendapat yang mengatakan berlakunya pada 17 Ramdhan adalah berdasarkan ayat ke 41 dari Surah Al-Anfaal. Surah ini hanyalah difokuskan kepada perisytiwa perang Badar bukannya al-Quran. Firman Allah dalam ayat ke 41 surah al-Anfal itu:

 إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللَّـهِ وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٤١
“…jika kamu beriman kepada Allah dan apa-apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad SAW) pada hari Furqan, iaitu di hari bertemunya dua pasukan (diperang Badar, antara muslimin dan kafirin)…”   (8 : 41)
Ayat tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan Nuzul Al-Quran.
.
Menurut riwayat dari Ibn Abbas, ayat tersebut hanya penjelasan tentang hukum pembahagian harta rampasan perang seperti yang terdapat pada awal ayat tersebut.
” Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, RasulNya, kerabat-kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil (orang yang sedang dalam perjalanan)…”.
.
Justeru tarikh yang lebih tepat tentang Nuzul al-Quran adalah pada 24 Ramadhan kerana ia berdasarkan ayat 1 Surah Al-Qadr dan ayat 1-4 Surah Ad-Dukhan yang telah dihuraikan di atas.
.
.
.
PERINGKAT PENURUNAN AL-QURAN
.
Para ulama menyatakan penurunan al-Quran berlaku dalam dua bentuk iaitu secara sekaligus, Dan berperingkat. Walau bagaimanapun mereka berselisih pendapat tentang berapa kali berlakunya penurunan al-Quran secara sekaligus. Terdapat tiga pandangan mengenai hal ini, iaitu;
Pertama, Penurunan al-Quran dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz;
Kedua, Dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia; dan
Ketiga, Penurunan kepada Jibril a.s. dalam tempoh 20 malam.
.
Al-Suyuti dalam kitabnya ‘al-Itqan if Ulum al-Quran’ berdasarkan tiga riwayat oleh Ibn ‘Abbas, Hakim Dan al-Nasa’i, hanya membahagikan kepada dua peringkat sahaja iaitu dari al-Lauh Mahfuz ke Bait al-‘Izzah Dan dari Bait al-‘Izzah kepada Rasulullah SAW melalui Jibril a.s.
.
1. Dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz.

Penurunan ini berlaku sekaligus dengan tujuan untuk membuktikan ketinggian Dan kekuasaan Allah SWT. Para Malaikat menyaksikan bahawa segala perkara yang ditentukan oleh Allah SWT di Luh Mahfuz ini benar-benar berlaku. Pendapat ini disandarkan kepada ayat 21 dan 22 surah al-Buruj yang berbunyi,
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مجيد فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ .
“(Sebenarnya apa yang engkau sampaikan kepada mereka bukanlah syair atau sihir), bahkan ialah Al-Quran yang tertinggi kemuliaannya; (Lagi yang terpelihara dengan sebaik-baiknya) pada Luh Mahfuz.” (al-Buruj:21-22)
.
.
2. Dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia
Penurunan kali kedua secara sekali Gus dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia dipercayai berlaku berpandukan kepada tiga (3) ayat al-Quran sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas;
.
Allah SWT berfirman, dalam al-Baqarah, ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadhan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk Dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah dia berbuka, kemudian wajiblah dia berpuasa) sebanyak Hari yang ditinggalkan itu pada hari-Hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan Dia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan) dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjuk-Nya dan supaya kamu bersyukur.”
.
Firman Allah SWT, dalam ad-Dukhan, ayat 3:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran itu pada malam yang berkat; (Kami berbuat demikian) kerana sesungguhnya Kami sentiasa memberi peringatan dan amaran (jangan hamba-hamba Kami ditimpa azab).”
.
Firman Allah SWT  dalam al-Qadr, ayat 1:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar.”
.
Ibn ‘Abbas juga menyatakan mengikut apa yang diriwayatkan oleh Said b. Jubayr: “Al-Quran diturunkan sekali gus pada malam yang penuh berkat.” Ikrimah pula meriwayatkan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Al-Quran diasingkan daripada al-Dhikr ‘الذكر’ dan ditempatkan di Bait al-‘Izzah di langit dunia.
.



Ibn Marduwayh dan al-Baihaqi mencatatkan perbualan antara ‘Atiyyah bin al-Aswad dan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang mana ‘Atiyyah agak keliru mengenai penurunan ayat-ayat ini, “Pada bulan Ramadhan al-Quran diturunkan”, dan “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar”, ia juga diturunkan pada bulan Syawwal, Dhu al-Qaedah, Dhu al-Hijjah, al-Muharram, Safar dan Rabi’ al-Awwal.” Kemudian Ibn ‘Abbas menjelaskan: “Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul-Qadar sekali gus kemudiannya untuk diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. secara beransur-ansur selama beberapa bulan dan hari.”
.
.
3. Dari Bait al-’Izzah kepada Rasulullah SAW
Menurut sebuah riwayat oleh Ibn Abbas dan pandangan majoriti para mufassirin, Al-Quran diturunkan sekaligus ke ‘Baitul Izzah’di langit ke dunia pada malam ‘Lailatul Qadar’. Sedangkan Al-Quran yang diturunkan ke bumi dan diterima Rasullullah sebagai wahyu terjadi secara beransur-ansur selama sekitar 23 tahun.
.
Al-Quran mula diturunkan kepada Rasulullah SAW secara beransur-ansur sejak baginda dilantik menjadi Rasulullah SAW dan selesai apabila baginda hampir wafat, iaitu dalam tempoh masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah al-Munawwarah. Ayat-ayat dan surah-surah yang diturunkan sebelum peristiwa hijrah dikenali sebagai Makkiyah dan yang diturunkan selepas peristiwa hijrah dikenali sebagai Madaniyyah .
.
Mengikut pendapat ini, Jibril a.s. diberi Malam Lailatul-Qadar setiap tahun, dari mula turun wahyu hingga ke akhirnya sepanjang tempoh kenabian, sebahagian daripada al-Quran disimpan di Bait al-‘Izzah yang mencukupi baginya untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW dalam masa 20 tahun. Pandangan ini dipegang kuat oleh al-Mawardi.
.
RasululLah SAW bersabda: Al-Quran diturunkan sekali gus oleh Allah ke langit dunia pada malam al-Qadr kemudian ia diturunkan secara berperingkat dalam masa 20 tahun (Hadis riwayat Ibn Abbas.)
Sebahagian ulama berpendapat penurunan al-Quran hanya sekali sahaja iaitu daripada Allah SWT terus kepada Rasulullah SAW melalui Jibril secara berperingkat dan bukannya tiga kali dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz, ke Bait al-‘Izzah dan kepada Rasulullah SAW.
.
.
AYAT PERTAMA DAN TERAKHIR
.
Ayat al-Quran yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril ialah lima ayat pertama daripada Surah Al-Alaq.
”Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhan mu yang menciptakan (sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah, dan Tuhan mu Yang Maha Pemurah, -Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, -Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘alaq:1-5)
 .
Dan peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah SAW sedang bertahannus (menyendiri) di Gua Hira. Sedangkan ayat Al-Quran yang terakhir sekali diturunkan adalah ayat-ayat riba iaitu ayat 278 sehingga 281 dari surah Al-Baqarah.
.
.
CARA-CARA AL-QURAN DIWAHYUKAN
.
Isteri Rasulullah SAW, Saidatina Aishah, meriwayatkan sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, beliau bermimpi perkara yang benar lalu beliau menyendiri di gua Hira’ beribadah kepada Allah SWT untuk selama beberapa tahun. Di gua berkenaanlah baginda menerima wahyu yang pertama.
.
Harith bin Hisham, seorang sahabat Rasulullah SAW, pernah bertanya kepada Baginda bagaimana Wahyu diturunkan kepadanya. Rasulullah menjawab, ”Kadang-kadang wahyu datang kepada-Ku dengan gema (desingan) loceng Dan ini amat berat bagi-Ku, Dan sementara bunyi itu hilang aku mengingati apa yang disampaikan kepada-Ku. Kadang Ia datang dalam bentuk jelmaan malaikat kepada-Ku merupai lelaki, bercakap dengan-Ku Dan aku menerima apa saja yang disampaikannya kepada-Ku.”
 .
.
Nabi Muhammad SAW mengalami bermacam-macam cara dan keadaan semasa menerima wahyu. Antara cara-cara Al-Quran diwahyukan adalah:
.
1. Menerusi mimpi yang benar (al-Rukya al-Sadiqah) Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini, Nabi SAW tidak melihat sesuatu apa pun, hanya beliau merasa bahawa itu sudah berada di dalam kalbunya. Sebagai contohnya Nabi pernah bersabda mengatakan:  Ruhul Quddus mewahyukan ke dalam kalbuku bahawa seseorang itu takkan mati sehingga dia menyempurnakan rezekinya yang telah ditetapkan oleh Allah“.  ( As-Syura: 51)
.
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi SAW menyerupai seorang lelaki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar mengenai kata-kata itu.
.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemercingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan Nabi SAW. Kadang-kadang pada keningnya terdapat peluh, meskipun turunnya wahyu itu di musim yang sangat dingin. Ada ketikanya, unta beliau terpaksa berhenti dan duduk kerana merasa amat berat.
Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: ” Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang demam yang kuat dan peluhnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
.
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi SAW. dalam rupanya yang benar-benar asli sebagaimana yang terdapat di dalam surah An- Najm ayat 13 & 14 : “Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika (ia berada) di Sidratulmuntaha”
 .
5. Malaikat mewahyukan kepada Nabi SAW dari atas langit seperti yang berlaku dalam peristiwa al-Isra` wal Mikraj . Sesetengah ulamak berpendapat baginda SAW juga pernah berbicara secara langsung dengan Allah dan menerima wahyu seperti yang berlaku pada Nabi Musa.Perkara ini merupakan suatu khilaf di kalangan para ulamak.
.
.
TUJUAN AL-QURAN DITURUNKAN BERPERINGKAT
Tujuan Allah menurunkan secara beransur-ansur adalah bagi memenuhi objektif-objektif berikut :
  • Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus dalam kadar yang banyak. Hal ini disebut oleh Bukhari dari riwayat ‘Aisyah r.a.
    Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan kamaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Quran diturunkan sekaligus. (Ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh)
    Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih berkesan dan lebih berpengaruh di hati.
.
  • Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menanyakan mengapa Al Quran tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana disebut dalam Al Quran surah Al Furqaan ayat 32:
“……mengapakah Al Quran tidak diturunkan kepadanya sekaligus….?”
Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
“….Demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu..”.
.
.
FUNGSI AL-QURAN
Al-Quran mempunyai beberapa fungsi penting, diantaranya ialah:
.
1. Sebagai Mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran merupakan bukti kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, sekaligus ianya menjadi bukti bahawa Al-Quran merupakan firman Allah SWT, bukannya ucapan atau ciptaan Nabi Muhammad SAW sendiri. Rasullulah SAW telah menjadikan Al-Quran sebagai senjata bagi menentang orang-orang kafir Quraisy. Didapati bahawa mereka sememangnya tidak mampu menghadapinya, padahal mereka mempunyai kemahiran menggubah bahasa-bahasa yang indah dalam ucapan dan sajak-sajak mereka. Al-Quran secara prisipnya telah mengemukakan cabaran kepada bangsa Arab menerusi tiga peringkat iaitu :
.



Peringkat pertama.
Mencabar mereka dengan keseluruhan Al-Quran dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia malah jin, dengan cabaran yang mengalahkan dan menjatuhkan mereka secara padu sebagaimana firmanNya.
Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebahagian mereka menjadi pembantu bagi sebahagian yang lain.” (17 : 88)
.
Peringkat kedua.
Mencabar dengan sepuluh surah sahaja daripada Al-Quran. Sebagaimana firmanNya:
“Bahkan mereka mengatakan “Muhammad telah membuat-buat Al-Quran.” Katakanlah: Jika demikian, maka datangkanlah sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar. Jika mereka (yang kamu seru itu) tidak menerima seruanmu, ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah” (11 : 13-14)
.
Peringkat ketiga.
Mencabar mereka hanya dengan satu surah daripada Al-Quran sahaja. Sebagaimana firmanNya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan: Muhammad membuat-buatnya (Al-Quran). (Kalau benar yang kamu katakan itu), cubalah datangkan satu surat seumpamanya” (10 : 38)
Dan cabaran ini diulangi di dalam firmanNya:
Dan jika kamu tetap dalam keadaan ragu tentang Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad saw), maka buatlah satu surat saja yang semisal Al-Quran itu…” (2 : 23 )
.
.
2. Sebagai Sumber Hukum Dan Aturan Hidup.
Ayat-ayat Al-Quran mengandungi peraturan tentang hukum-hukum siyasah negara, sosial, pendidikan, pengadilan, akhlak dan sebagainya. Semua aturan dan hukum ini wajib dijadikan sebagai pandangan hidup bagi seluruh kaum muslimin dan umat manusia untuk mengatasi semua permasalahan hidup yang dihadapinya.
.
Sememangnya penyelesaian yang diberikan oleh syariat Islam adalah merupakan penyelesaian yang sebenar-benarnya kearan ia satu-satunya perundangan yang dapat memenuhi fitrah manusia itu sendiri. Kemampuan syariat Islam dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan kehidupan manusia inilah yang akan menjadikan Al-Quran sebagai mukjizat abadi yang paling menonjol di muka bumi.
.
Wallahu A’alam Bissowab

 
والسلام علبكم و رحمة الله و بركاته
. Sumber Asal: https://shafiqolbu.wordpress.com/2011/08/23/menyingkap-tabir-sejarah-peristiwa-penurunan-al-quran-nuzul-al-quran/