Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam
yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad
Dukhan: 3-4).
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul
qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ
حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).
Sebagaimana kata Abu Hurairah,
malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak
terhingga.[2] Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.[3]
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An
Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di
1000 bulan.”[4]
Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada
lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak
terdapat lailatul qadar.[5]
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena
iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni.”[6]
Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[7]
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”[8]
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah
menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun
pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana
dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam
ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya
berpindah-pindah dari tahun ke tahun[9].
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau
mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh
lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا
فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى
تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”[10]
Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan
tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat
untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan
tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.[11]
Do’a di Malam Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar,
lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ
الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ
تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku
mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di
dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun
tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”[12]
Tanda Malam Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak
begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari
bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”[13]
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan
sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan
dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
هِىَ
اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا
أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ
لَهَا.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh
(dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya
matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. [14]”[15]
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang
terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh
kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut.
Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik
dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di
dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat
beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di
sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi
kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu,
menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk
melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk
menjauhi para istri beliau dari berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”[19]
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan
giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan
anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.[20]
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar
adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti
seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu
mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh
di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai menghidupkan malam
tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan
shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun amalan
shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar
berdasarkan hadits, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap
pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[23]
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak,
“Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang
yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa
mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya,
mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima
amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”[24]
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir
tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh
dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu,
maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita
haidh lakukan ketika itu adalah,
- Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.[25]
- Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
- Memperbanyak istighfar.
- Memperbanyak do’a.[26]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan
[1] Lihat Zaadul Masiir, 9/182.
[2] Lihat Zaadul Masiir, 9/192.
[3] Lihat Zaadul Masiir, 9/194.
[4] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341
[5] Zaadul Masiir, 9/191.
[6] HR. Bukhari no. 1901.
[7] HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169.
[8] HR. Bukhari no. 2017.
[9] Fathul Bari, 4/262-266.
[10] HR. Bukhari no. 2021.
[11] Fathul Bari, 4/266.
[12]
HR. Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim”
setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun ...” tidak terdapat satu dalam
manuskrip pun. Lihat Tarooju’at hal. 39.
[13]
HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul
Ahadits 18/361. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Shahihul Jaami’ no. 5475.
[14] HR. Muslim no. 762.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/149-150.
[16] HR. Ahmad 2/385, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] HR. Muslim no. 1175.
[18]
Inilah pendapat yang dipilih oleh para salaf dan ulama masa silam
mengenai maksud hadits tersebut. Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 332.
[19] HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174.
[20] Latho-if Al Ma’arif, hal. 331.
[21] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 329.
[22] ‘Aunul Ma’bud, 4/176.
[23] HR. Bukhari no. 1901.
[24] Latho-if Al Ma’arif, hal. 341
[25]
Dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh
dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat
bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci
dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah,
Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu
Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.”
[26] Lihat Fatwa Al Islam Su-al wa Jawab no. 26753.