Wednesday, 16 November 2016



Susunan: Ustaz Mohamad Muhaimin Zaki


Dalam kehidupan manusia, pastinya tidak dapat lari daripada berhajatkan kepada sesuatu yang lazimnya disebut sebagai amalan berdoa. Berikut merupakan antara adab berdoa menurut al-Quran dan hadith baginda Nabi Muhammad SAW.
 
1. Mengucapkan pujian kepada Allah terlebih dahulu sebelum berdo’a dan diakhiri dengan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hal itu karena engkau memohon kepada Allah suatu pemberian rahmat dan ampunan, maka pertama kali yang harus dilakukan olehmu adalah memberikan sanjungan dan pengagungan sesuai dengan kedudukan Allah Yang Mahasuci.
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلَُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ.
Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’ Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu.’”[1]

2. Husnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada-mu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a.” [Al-Baqarah/2: 186]
Allah dekat dengan kita dan Allah bersama kita dengan ilmu-Nya (pengetahuan-Nya), pengawasan-Nya dan penjagaan-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meme-rintahkan kepada kita untuk menyerahkan masalah pengabulan do’a hanya kepada Allah dan harus me-rasa yakin dengan terkabulnya do’a.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ.
“Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan engkau merasa yakin akan dikabulkannya do’a.”[2]
Maksud hadits ini adalah kalian harus merasa yakin dan percaya bahwa Allah dengan kemurahan-Nya dan karunia-Nya yang agung tidak akan mengecewakan seseorang yang berdo’a kepada-Nya, apabila dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan ikhlas yang sebenar-benarnya. Hal ini disebabkan apabila seseorang yang berdo’a tidak percaya dan yakin akan terkabulnya do’a yang ia panjatkan, maka tidaklah mungkin ia memanjatkan do’anya dengan bersungguh-sungguh.

3. Mengakui dosa-dosa yang diperbuat. Perbuatan tersebut mencerminkan sempurnanya penghambaan terhadap Allah
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ لَيَعْجَبُ مِنَ الْعَبْدِ إِذَا قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِنِّيْ قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، قَالَ: عَبْدِيْ عَرَفَ أَنَّ لَهُ رَباًّ يَغْفِرُ وَ يُعَاقِبُ.
“Sesungguhnya Allah kagum kepada hamba-Nya apabila ia berkata: ‘Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Engkau, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah dosa-dosaku karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau.’ Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengetahui bahwa baginya ada Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum.’”[3]

4. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ.
‘Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.”[4]
Maksud dari bersungguh-sungguh dalam berdo’a adalah terus-menerus dalam meminta dan memohon kepada Allah dengan mendesak.

5. Mendesak terus-menerus dalam berdo’a
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
سُرِقَتْ مِلْحَفَةٌ لَهَا، فَجَعَلَتْ تَدْعُوْ عَلَى مَنْ سَرَقَهَا فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ تُسَبِّخِيْ عَنْهُ.
“Mantel kepunyaannya telah dicuri, kemudian ia mendo’akan kejelekan kepada orang yang mencurinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Jangan engkau meringankannya.’”[5]
Maksudnya janganlah engkau meringankan dosa perilaku mencurinya dengan do’amu untuk kejelekannya.

6. Berdo’a dengan mengulanginya sebanyak tiga kali
Telah diriwayatkan dengan shahih dalam as-Sunnah, sebagaimana hadits riwayat Muslim yang panjang dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,
فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ رَفَعَ صَوْتَهُ ثُمَّ دَعَا عَلَيْهِمْ وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلاَثاً وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلاَثاً ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ.
‘Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, beliau mengeraskan suaranya, kemudian mendo’akan kejelekan bagi mereka dan apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, beliau ulang sebanyak tiga kali dan apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, diulanginya sebanyak tiga kali kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: ‘Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy.’”[6] 

7. Berdo’a dengan lafazh yang singkat dan padat namun maknanya luas
Yaitu dengan perkataan ringkas dan bermanfaat yang menunjukkan pada makna yang luas dengan lafazh yang pendek dan sampai kepada maksud yang diminta dengan menggunakan susunan kata yang paling sederhana (tidak bersajak-sajak) sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Sunan Abi Dawud dan Musnad Imam Ahmad dari ‘Aisyah bahwasanya ia berkata:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai berdo’a dengan do’a-do’a yang singkat dan padat namun makna-nya luas dan tidak berdo’a dengan yang selain itu.”[7]
Salah satu contoh dari do’a ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Farwah bin Naufal, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang do’a yang senantiasa dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan do’a:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَشَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku kerjakan dan dari keburukan yang belum aku kerjakan.”[8]
Sedangkan contoh yang lain adalah hadits Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau senantiasa berdo’a dengan do’a berikut:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِي وَجَهْلِيْ وَإِسْرَافِيْ فِي أَمْرِيْ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، الَلَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ جِدِّيْ وَهَزْلِيْ وَخَطَئِيْ وَعَمْدِيْ وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِيْ، الَلّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, serta sikap berlebihanku dalam urusanku dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas keseriusanku dan candaku, kekeliruanku dan kesengajaanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas apa-apa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, apa-apa yang aku sembunyi-kan dan yang aku tampakkan, serta apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku, Engkaulah Yang Mahamendahulukan (hamba kepada rahmat-Mu) dan Yang Mahamengakhirkan, Engkaulah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.”[9] 

8. Orang yang berdo’a hendaknya memulai dengan mendo’akan diri sendiri (jika hendak mendo’akan orang lain)
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“…Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…” [Al-Hasyr/59: 10]
Firman-Nya yang lain:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ
“Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau…’” [Al-A’raaf/7: 151]
Firman-Nya yang lain:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Rabb-ku, berikanlah ampun kepadaku dan kedua ayah ibuku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” [Ibrahim/14: 41]
Dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا فَدَعَا لَهُ بَدَأَ بِنَفْسِهِ.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingat kepada seseorang, maka beliau mendo’akannya dan sebelumnya beliau mendahulukan berdo’a untuk dirinya sendiri.”[10]
Namun hal tersebut bukan merupakan kebiasaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkadang memang benar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang lain tanpa mendo’akan dirinya sendiri sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah Hajar:
يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا لَكَانَتْ عَيْناً مَعِيْناً.
“Semoga Allah memberikan rahmat kepada Ibu Nabi Isma’il, seandainya beliau membiarkan air Zamzam (mengalir bebas) niscaya ia menjadi mata air yang terus mengalir.”[11] 

9. Memilih berdo’a di waktu yang mustajab (waktu yang pasti dikabulkan), di antaranya adalah:
a. Pada waktu tengah malam[12]
b. Di antara adzan dan iqamah[13]
c. Di saat dalam sujud[14]
d. Ketika adzan
e. Ketika sedang berkecamuk peperangan[15]
f. Setelah waktu ‘Ashar pada hari Jum’at[16]
g. Ketika hari ‘Arafah[17]
h. Ketika turun hujan[18]
i. Ketika 10 hari terakhir bulan Ramadhan (Lailatul Qadar). (Lihat ad-Du’a, karya ‘Abdullah al-Khudhari).[19]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Nota Kaki
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3476) dan Abu Dawud (no. 1481). Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3988).
[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (no. 3479). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 594).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Hakim (II/98-99) dari Sahabat ‘Ali bin Rabi’ah. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1653), karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6338) dan Muslim (no. 2678). Lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari.
[5]. Dha’if: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (no. 1497). Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani t dalam Dha’iif Sunan Abi Dawud (no. 1050).
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 240) dan Muslim (no. 1794 (107)).
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1482), Ahmad (VI/148, 189) dan al-Hakim (I/539). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4949).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2716).
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6399) dan Muslim (no. 2719 (70)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3385) dan Abu Dawud (no. 3984). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4723).
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (V/ 121, no. 21163). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1669).
[12]. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzaaariyat/51: 18]
Hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ،
مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ.
“Rabb kita (Allah) تَبَارَكَ وَتَعَالَى turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman; ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku saat ini, niscaya Aku akan memperkenankannya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.’” [HR. Al-Bukhari no. 1145, Muslim no. 758 dan at-Tirmidzi no. 3498]
[13]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ فَادْعُوْا.
“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak, maka berdo’alah.” [HR. Abu Dawud no. 521, at-Tirmidzi no. 212, Ahmad III/155 dan at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahiihul Jaami’ no. 3408).
[14]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أََقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَ هُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ.
“Saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud (kepada Rabb-nya), maka perbanyaklah do’a (dalam sujud kalian).” [HR. Muslim no. 482, Abu Dawud no. 875 dan an-Nasa-i II/226 no. 1137]
[15]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّماَ تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ عِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً.
“Dua waktu yang tidak akan ditolak (permohonan yang dipanjatkan di dalamnya, atau sedikit kemungkinan untuk ditolak, yaitu do’a setelah (dikumandangkan) adzan dan do’a ketika berkecamuk peperangan, tatkala satu dan lainnya saling menyerang.” [HR. Abu Dawud no. 2540, ad-Darimi no. 1200, Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahiihul Jami’ no. 3079].
[16]. Setelah ‘Ashar pada hari Jum’at, dalilnya:
فِيهِ سَاعَةٌ لاَيُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّيْ يَسْأَلُ اللهَ تَعاَلَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.
“Pada hari itu (hari Jum’at) terdapat waktu-waktu tertentu, tidaklah seorang hamba berdiri melaksanakan shalat dan berdo’a memohon sesuatu kepada Allah, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya (yang menggambaran) waktu itu pendek.” [HR. Al-Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852 (13)]
Waktu itu adalah saat setelah shalat ‘Ashar sebagaimana yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (I/390).
[17]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a ialah do’a hari Arafah…” [HR. At-Tirmidzi no. 3585, Malik dalam al-Muwaththa’ no. 500, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam Shahiihul Jami’ no. 3274 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1503]
[18]. Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ الْمَطَرِ.
“Dua waktu yang padanya sebuah permohonan (do’a) tidak akan ditolak oleh Allah, do’a ketika setelah dikumandangkan adzan dan do’a ketika turun hujan.” [HR. Al-Hakim II/114, Abu Dawud no. 3540. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami’ no. 3078]
[19]. 10 hari terakhir bulan Ramadhan (di dalamnya terdapat Lailatul Qadar). Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah yang sebaiknya aku baca pada Lailatul Qadar?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bacalah:
اَللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemberi maaf dan mencintai pemberian maaf, maka maafkanlah aku.’” [HR. At-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 4423].




Sunday, 30 October 2016




Saban tahun, kita menyambut bulan Zulhijjah. Dalam bulan tersebut, terdapat beberapa peristiwa penting antaranya sambutan kebesaran umat Islam iaitu Hari Raya Aidil Adha, ibadah haji dan perlaksanaan ibadah korban.

Disebalik pensyariatan ibadah korban ini juga, terdapat beberapa ibrah (pengajaran dan hikmah) yang dapat diambil kepada kita selaku manusia untuk membangunkan jiwa dan hati nurani supaya dapat berfikir mengenai keagungan dan kebesaran Allah SWT.

Ibrah Daripada Pensyariatan Korban

Ibadah korban bukan hanya menyembelih al-an’am (binatang ternakan) semata-mata, namun disebalik ibadah tersebut terdapat berbagai pengajaran yang dapat diambil dalam membangunkan jiwa insan. Pertamanya, ibadah korban dapat mendidik diri untuk bersedekah. Dalam Islam, harta andai semakin dikeluarkan dalam jalan kebaikan dan ketaatan akan semakin diberkati. Oleh yang demikian, secara tidak lansung penyakit jiwa seperti kedekut dan bakhil untuk bersedekah akan dapat dielakkan. Unjuran untuk memperbanyakkan bersedekah dan berkongsi rezeki yang dikurniakan Allah SWT telah termaktub dalam hadith baginda Nabi Muhammad SAW yang bermaksud:

"Infakkan hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa bersedekah. Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan keberkatan rezeki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu." (Riwayat al-Bukhari, Hadith No. 1433; Riwayat Muslim Hadith No. 1029).

Melalui ibadah korban juga, orang yang melakukan ibadah korban diharamkan untuk mengambil kesemua daging daripada binatang yang dikorbankan. Terdapat had dan kadar-kadar tertentu sahaja yang dibenarkan untuk mereka mengambil daging tersebut. Justeru, dalam ibadah korban akan mentarbiyah diri manusia agar tidak bersifat tamak dan haloba. Allah SWT juga menegaskan dalam firmannya mengenai kelebihan bersedekah dan berkongsi rezeki yang diperolehi yang bermaksud :

"Dan apa sahaja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (Saba', 34: 39).

Keduanya, ibadah korban juga mentarbiyah diri manusia untuk belajar meninggalkan tegahan dan larangan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Mengambil contoh, dalam ibadah korban terdapat larangan bagi orang yang akan berkorban iaitu apabila bermulanya satu Zulhijjah hingga perlaksanaan ibadah korban, mereka yang berniat melakukan ibadah korban perlu meninggalkan beberapa larangan yang telah disabdakan melalui hadith baginda Nabi Muhammad SAW. Perkara ini telah dijelaskan daripada Ummu Salamah, Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

"Jika kalian telah menyaksikan hilal Zulhijah (maksudnya telah memasuki 1 Zulhijah,) dan kalian ingin berkorban, maka hendaklah orang yang akan berkorban tidak memotong rambut dan kukunya." (Riwayat Muslim, Hadith No. 1977).

Namun hukumnya adalah makruh seandainya ia tidak meninggalkan larangan tersebut. Mengapa adanya larangan sebegini? Bagi mereka yang benar-benar meyakini pastinya ada hikmah di sebalik suruhan dan tegahan Nabi Muhammad SAW, pastinya sinar keimanan yang wujud dalam diri akan menzahirkan perbuatan meninggalkan larangan tersebut. Tepuk dada, tanyalah iman masing-masing? Adakah kita hanya beriman sekadar pemanis di bibir, namun tidak kepada perlaksanaan dalam kehidupan seharian. Bukankah antara tanda keberkatan dalam menuntut ilmu adalah dengan dapat mengamalkan ilmu yang dipelajari sebaik mungkin?

Ketiga, ibadah korban juga melatih manusia supaya rajin berzikir dan mengagungkan kebesaran Allah SWT. Dalam perlaksanaan ibadah korban, kita diwajibkan membaca bismillah dan disunahkan bertakbir ketika menyembelih korban dan bertakbir pada tiga hari setelahnya. Sejak hari pertama Zulhijah hingga kesepuluh Zulhijjah, kita sudah diperintahkan agar banyak bertakbir melalui firman Allah SWT yang bermaksud,

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (Al Hajj, 22: 28).

Unjuran untuk memperbanyakkan berzikir pada bulan Zulhijjah ini telah dijelaskan oleh Imam Bukhari rahimahullah yang menyebut, Ibnu 'Abbas berkata: "Berzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan iaitu sepuluh hari pertama Zulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq."

Berzikir bukan sahaja akan menenangkan hati manusia yang gelisah, namun juga akan menerbitkan ketenangan dalam diri. Bukankah antara nikmat yang tidak ternilai dalam kehidupan ini adalah beroleh ketenangan dalam kehidupan seharian?

Berzikir juga adalah amalan rutin baginda Nabi Muhammad SAW. Dari 'Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahawa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah SAW :

"Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh banyak dan membebani kami. "Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku boleh konsisten dengannya. Nabi SAW pun bersabda, "Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berzikir pada Allah." (HR. Tirmidzi no. 3375, Ibnu Majah no. 3793, dan Ahmad 4: 188).

Gunakanlah kesempatan masa yang dikurniakan Allah dalam kehidupan yang sementara ini untuk memperbanyakkan berzikir, bertasbih memuji kebesaran Allah SWT. Hati tenang, jiwa yang aman, natijahnya segala urusan akan menjadi mudah dan senang. Indah bukan kehidupan sebegini?

Keempat, ibadah korban juga mendidik manusia agar mengambil pengajaran daripada kisah-kisah terdahulu di dalam al-Quran yang dapat dijadikan pengajaran kepada kita selaku umat manusia di akhir zaman.

Jika ditinjau dari sudut sejarah Islam, ibadah korban bukanlah suatu perkara baharu yang telah disyariatkan oleh Allah SWT kepada kita, bahkan ibadah ini telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Adam a.s  agar memerintahkan putera mereka supaya mempersembahkan korban mereka. Kisah ini telah diterangkan secara terperinci oleh Allah SWT dalam firmannya yang bermaksud:

 Dan bacakanlah (Wahai Muhammad) kepada mereka kisah (mengenai) dua orang anak Adam (Habil dan Qabil) Yang berlaku Dengan sebenarnya, Iaitu ketika mereka berdua mempersembahkan satu persembahan korban (untuk mendampingkan diri kepada Allah). lalu diterima korban salah seorang di antaranya (Habil), dan tidak diterima (korban) dari Yang lain (Qabil). berkata (Qabil):" Sesungguhnya Aku akan membunuhmu!". (Habil) menjawab: "Hanyasanya Allah menerima (korban) dari orang-orang Yang bertaqwa; (al-Maidah, 5:12).

Melalui kisah ini, Allah SWT hanya menerima korban daripada orang yang bertawa yakni mereka yang takut dan beriman dengan kekuasaan Allah SWT. Oleh yang demikian, ibadah korban juga secara tidak lansung mempamerkan sifat kehambaan manusia kepada Allah SWT dan membuang sifat permusuhan sesama manusia.

Terakhir, melalui ibadah korban juga, dapat mendidik manusia menghayati kesungguhan dan keimanan Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Nabi Ismail a.s melakukan ketaatan kepada setiap perintah Allah SWT kepada mereka. Ibadah korban  ini telah disandarkan kepada Nabi Ibrahim a.s.memandangkan kesungguhan baginda untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT,  agar baginda mengorbankan anaknya sendiri iaitu Nabi Ismail a.s  sebagai bukti kecintaan baginda terhadap Allah SWT. Kesungguhan ini telah diceritakan oleh Allah SWT dalam maksud firman-Nya:

Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi bahawa aku akan menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu. (al-Saffat,  37:102 )

Lalu Nabi Ismail a.s menjawab sebagaimana firman Allah SWT  yang bermaksud:

Wahai ayahku! Jalankanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku dari kalangan orang-orang yang sabar. (al-Saffat, 37:102 )

Dikatakan kedua-duanya telah berserah diri sebagaimana firman Allah SWT yang bermaksud:

Setelah keduanya berserah bulat-bulat (menjunjung perintah Allah itu) dan Nabi Ibrahim merebahkan anaknya dengan meletakkan iringan mukanya di atas tompok tanah. (Kami sifatkan Ibrahim dengan kesungguhan azamnya itu telah menjalankan perintah kami). (al-Saffat, 37:103 )

Setelah kedua-duanya berserah diri untuk menjalankan perintah Allah dan berazam dengan bersungguh-sungguh, Allah SWT telah menyeru dan memberikan khabar yang mengembirakan melalui Malaikat. Sebagaimana firman Allah SWT, yang bermaksud:

Wahai Ibrahim! Engkau telah menyempurnakan maksud mimpi yang engkau lihat itu, demikianlah sebenarnya Kami membalas orang-orang yang berusaha mengerjakan kebaikan, sesungguhnya perintah ini adalah satu ujian yang nyata dan Kami tebus anaknya itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar dan Kami kekalkan baginya (nama yang harum) dalam kalangan orang yang datang kemudian, salam sejahtera kepada Nabi Ibrahim, demikianlah Kami membalas orang-orang yang berusaha melakukan kebaikan, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu dari hamba-hamba Kami yang beriman. ( al-Saffat, 37:104-111 ).

Setelah tercapai maksud ujian terhadap Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Ismail a.s serta mereka berdua bersegera untuk menunaikan perintah Allah SWT lalu Allah Taala mengantikan dengan seekor kibas putih yang mempunyai mata dan tanduk yang sempurna sebagai tebusan daripada menyembelih anaknya. Nabi Ibrahim a.s mendapati kibas tersebut terikat di sebatang pokok berhampiran Bukit Thabir lalu menyembelihnya di Mina. Tempat ini telah dijadikan sebagai tempat mengerjakan ibadat haji dan sunat berkorban bersempena dari peristiwa Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Nabi Ismail a.s serta berterusan sehingga kepada nabi kita Muhammad SAW.



Melalui kisah ini, ibrah yang dapat diambil dalam membangunkan jiwa insan adalah betapa kuatnya keimanan dan kesabaran yang diaplikasikan oleh Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s. Walaupun mengambil masa yang lama untuk mendapatkan zuriat, namun apabila beroleh zuriat terbut datangnya wahyu daripada Allah SWT untuk menyembelih anaknya yang dikasihi, Nabi Ibrahim a.s akur akan suruhan Allah SWT. Marilah kita bermuhasabah diri kita sendiri, adakah kita hanya beriman dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT hanya apabila saat ditimpa musibah, lalu melupakan suruhan Maha Pencipta iaitu Allah SWT saat dikurniakan kesenangan dalam kehidupan? Jawapannya ada pada jiwa kita masing-masing.
 

Nikmat Yang Tidak Ternilai

Justeru ibadah korban ini merupakan sunnah Nabi Ibrahim yang dituntut agar kita berusaha untuk melaksakannya ini mempunyai berbagai ibrah yang wajar untuk kita fahami dan teladani dalam kehidupan seharian. Melalui ibadah korban juga, kita dapat menunjukkan tanda kesyukuran kepada Allah SWT terhadap nikmat yang ditelah dilimpahkanNya kepada kita. Daripada sekecil-kecil nikmat sehinggalah kepada nikmat yang paling besar iaitu nikmat beriman dengan Allah SWT.

Sesungguhnya, nikmat yang dikurniakan oleh Allah SWT  tidak mampu untuk dihitung oleh kita, seperti mana maksud firman Allah SWT:

Dan ia telah memberi kepada kamu sebahagian dari tiap-tiap apa jua Yang kamu hajati. dan jika kamu menghitung nikmat Allah nescaya lemahlah kamu menentukan bilangannya. (Ibrahim, 14:34).

Rumusannya, untuk menzahirkan keyukuran kepada Allah SWT, antara cara yang telah diperintahkan oleh Allah SWT adalah melalui ibadah korban. Selain daripada menzahirkan ketaatan kepada Allah SWT, Ibadah korban juga mempunyai pelbagai ibrah yang tersendiri dalam membangunkan jiwa insan. Antaranya, memperbanyakkan bersedekah, menghindarkan diri daripada pelbagai sifat mazmumah, melatih manusia melakukan amal kebaikan seperti berzikir, mengambil pengajaran daripada kisah sirah nabawiyah yang termaktub dalam al-Qur’an dan sebagainya. Semoga penulisan ini bermanfaat untuk kita semua, selamat membaca!


Rujukan:

Al-Qur’an


Muhammad Al Amin Asy Syinqithi. (2006). Adwa-ul Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, Beirut, Lubnan: Darul Kutub Al ‘Ilmiyah.

Syeikh Ahmad Faisol Omar. (2015). Ibadah mukmin sembelihan. Petaling Jaya, Selangor: Galeri Ilmu Sdn Bhd.