Tuesday, 19 July 2016


Kematian akan menghadang setiap manusia. Proses tercabutnya nyawa manusia akan diawali dengan detik-detik menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini dikenal sebagai sakaratul maut.

Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya”[2].

Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, firman Allah:

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. [Qaaf: 19]

Maksud sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya. Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul maut dengan kematian[3].

Juga ayat:

كَلآ إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ {26} وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {27} وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ {28} وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ {29} إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau”. [Al Qiyamah: 26-30]

Syaikh Sa’di menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadan orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfiman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan menyembuhkan?” artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah. Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun qadha dan qadar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya. Peringatan yang Allah sebutkan ini akan dapat mendorong hati-hati untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran dan penentangan”.[4]

Sedangkan beberapa hadits Nabi yang menguatkan fenomena sakaratul maut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي أخرجه البخاري ك الرقاق باب سكرات الموت و في المغازي باب مرض النبي ووفاته. الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ

“Bahwa di hadapan Rasulullah ada satu bejana kecil dari kulit yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut”. Dan beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiqil A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas”[5]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, berkata:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام وَا أخرجه البخاري في المغازي باب مرض النبي ووفاته.اليَوْمِ َرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ

“Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini…[al hadits]” [6]

Dalam riwayat Tirmidzi dengan, ‘Aisyah menceritakan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أخرجه الترمذي ك الجنائز باب ما جاء في التشديد عند الموت وصححه الألباني

“Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah”.[7]

Dan penderitaan yang terjadi selama pencabutan nyawa akan dialami setiap makhluk. Dalil penguatnya, keumuman firman Allah: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Ali ‘Imran: 185). Dan sabda Nabi: “Sesungguhnya kematian ada kepedihannya”. Namun tingkat kepedihan setiap orang berbeda-beda. [8]

KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERIMAN.
Orang yang beriman, ruhnya akan lepas dengan mudah dan ringan. Malaikat yang mendatangi orang yang beriman untuk mengambil nyawanya dengan kesan yang baik lagi menggembirakan. Dalilnya, hadits Al Bara` bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang proses kematian seorang mukmin:

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ قَالَ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ

“Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari syurga, serta hanuth (wewangian) dari syurga. Mereka duduk di sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan duduk di dekat kepalanya sembari berkata: “Wahai jiwa yang baik –dalam riwayat- jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaannya”. Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, para malaikat lainnya tidak membiarkannya di tangannya (malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misk terwangi yang ada di bumi..”[al hadits].[9]

Malaikat memberi kabar gembira kepada insan mukmin dengan ampunan dengan ridla Allah untuknya. Secara tegas dalam kitab-Nya, Allah menyatakan bahwa para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari berkata):” Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Fushshilat: 30]

Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam amalannya untuk Allah semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan syariat Allah niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala kematian menyongsong mereka dengan berkata “janganlah kalian takut atas amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta atau agama sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka (para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan turunnya kebaikan”.

Kemudian Ibnu Katsir menukil perkataan Zaid bin Aslam: “Kabar gembira akan terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari Kebangkitan”. Dan mengomentarinya dengan: “Tafsiran ini menghimpun seluruh tafsiran, sebuah tafsiran yang bagus sekali dan memang demikian kenyataannya”.

Firman-Nya: “Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat maksudnya para malaikat berkata kepada orang-orang beriman ketika akan tercabut nyawanya, kami adalah kawan-kawan kalian di dunia, dengan meluruskan, memberi kemudahan dan menjaga kalian atas perintah Allah, demikian juga kami bersama kalian di akhirat, dengan menenangkan keterasinganmu di alam kubur, di tiupan sangkakala dan kami akan mengamankan kalian pada hari Kebangkitan, Penghimpunan, kami akan membalasi kalian dengan shirathal mustaqim dan mengantarkan kalian menuju kenikmatan syurga”.[10]

Dalam ayat lain, Allah mengabarkan kondisi kematian orang mukmin dalam keadaan baik dengan firman-Nya:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. [An Nahl: 32]
.
Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…[11]

MENGAPA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDERITA SAAT SAKARATUL MAUT?
Kondisi umum proses pencabutan nyawa seorang mukmin mudah lagi ringan. Namun kadang-kadang derita sakarul maut juga mendera sebagian orang sholeh. Tujuannya untuk menghapus dosa-dosa dan juga mengangkat kedudukannya. Sebagaimana yang dialami Rasulullah. Beliau Shallallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan pedihnya sakaratul maut seperti diungkapkan Bukhari dalam hadits ‘Aisyah di atas.

Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam hadits tersebut, kesengsaran (dalam) sakaratul maut bukan petunjuk atas kehinaan martabat (seseorang). Dalam konteks orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus kesalahan-kesalahannya”[12]

Menurut Al Qurthubi dahsyatnya kematian dan sakaratul maut yang menimpa para nabi, maka mengandung manfaat :

Pertama : Supaya orang-orang mengetahui kadar sakitnya kematian dan ia (sakaratul maut) tidak kasat mata. Kadang ada seseorang melihat orang lain yang akan meninggal. Tidak ada gerakan atau keguncangan. Terlihat ruh keluar dengan mudah. Sehingga ia berfikir, perkara ini (sakaratul maut) ringan. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada mayat (sebenarnya). Tatkala para nabi, mengabarkan tentang dahsyatnya penderitaan dalam kematian, kendati mereka mulia di sisi Allah, dan kemudahannya untuk sebagian mereka, maka orang akan yakin dengan kepedihan kematian yang akan ia rasakan dan dihadapi mayit secara mutlak, berdasarkan kabar dari para nabi yang jujur kecuali orang yang mati syahid.

Kedua : Mungkin akan terbetik di benak sebagian orang, mereka adalah para kekasih Allah dan para nabi dan rasul-Nya, mengapa mengalami kesengsaraan yang berat ini?. Padahal Allah mampu meringankannya bagi mereka?. Jawabnya, bahwa orang yang paling berat ujiannya di dunia adalah para nabi kemudian orang yang menyerupai mereka dan orang yang semakin mirip dengan mereka seperti dikatakan Nabi kita. Hadits ini dikeluarkan Bukhari dan lainnya. Allah ingin menguji mereka untuk melengkapi keutamaan dan peningkatan derajat mereka di sisi-Nya. Ini bukan sebuah aib bagi mereka juga bukan bentuk siksaan. Allah menginginkan menutup hidup mereka dengan penderitaan ini meski mampu meringankan dan mengurangi (kadar penderitaan) mereka dengan tujuan mengangkat kedudukan mereka dan memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal. Tapi bukan berarti Allah mempersulit proses kematian mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab (kepedihan) ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan mereka. Maka tidak bisa disamakan”.[13]

KABAR BURUK DARI PARA MALAIKAT KEPADA ORANG-ORANG KAFIR.
Sedangkan orang kafir, maka ruhnya akan keluar dengan susah payah, ia tersiksa dengannya. Nabi menceritakan kondisi sakaratul maut orang kafir atau orang yang jahat dengan sabdanya:

“Sesungguhnya hamba yang kafir -dalam riwayat lain- yang jahat jika akan telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat-malaikat yang kasar akan dari langit dengan wajah yang buruk dengan membawa dari neraka. Mereka duduk sepanjang mata memandang. Kemudian malaikat maut hadir dan duduk di atas kepalanya dan berkata: “Wahai jiwa yang keji keluarlah engkau menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya”. Maka ia mencabut (ruhnya) layaknya mencabut saffud (penggerek yang) banyak mata besinya dari bulu wol yang basah. [14]

Secara ekspilisit, Al Quran telah menjelaskan bahwa para malaikat akan memberi kabar buruk kepada orang kafir dengan siksa. Allah berfirman: ”

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat mumukul dengan tangannya, (Sambil berkata): “Keluarkan nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”. [Al An’am: 93]

Maksudnya, para malaikat membentangkan tangan-tangannya untuk memukuli dan menyiksa sampai nyawa mereka keluar dari badan. Karena itu, para malaikat mengatakan: “Keluarkan nyawamu”. Pasalnya, orang kafir yang sudah datang ajalnya, malaikat akan memberi kabar buruk kepadanya yang berbentuk azab, siksa, belenggu, dan rantai, neraka jahim, air mendidih dan kemurkaan Ar Rahman (Allah). Maka nyawanya bercerai-berai dalam jasadnya, tidak mau taat dan enggan untuk keluar.

Para malaikat memukulimya supaya nyawanya keluar dari tubuhnya. Seketika itu, malaikat mengatakan: “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”.. artinya pada hari ini, kalian akan dihinakan dengan penghinaan yang tidak terukur karena mendustakan Allah dan (lantaran) kecongkakan kalian dalam mengikuti ayat-ayat-Nya dan tunduk kepaada para rasul-Nya.

Saat detik-detik kematian datang, orang kafir mintai dikembalikan agar bisa masuk Islam. Sedangkan orang yang jahat mohon dikembalikan ke dunia untuk bertaubat, dan beramal sholeh. Namun sudah tentu, permintaan mereka tidak akan terkabulkan. Allah berfirman:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Rabbi kembalikan aku ke dunia. Agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. [Al Mukminun: 99-100]

Setiap orang yang teledor di dunia ini, baik dengan kekufuran maupun perbuatan maksiat lainnya akan dilanda gulungan penyesalan, dan akan meminta dikembalikan ke dunia meski sejenak saja, untuk menjadi orang yang insan muslim yang sholeh. Namun kesempatan untuk itu sudah hilang, tidak mungkin disusul lagi. Jadi, persiapan harus dilakukan sejak dini dengan tetap memohon agar kita semua diwafatkan dalam keadaan memegang agama Allah. Wallahu a’lamu bishshawab. Washallallahu ‘ala Muhamaad wa ‘ala alihi ajmain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diadaptasi oleh M. Ashim dari kitab Ahwalu Al Muhtazhir (Dirasah Naqdiyyah) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al ‘Ali, dosen fakultas Ushuluddin di Riyadh. Majalah Jam’iah Islamiyah edisi 124 tahun XXXVI -1424 H.
[2]. Al Maut hlm. 69
[3]. Lihat Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101) dan Fathul Qadir (5/75).
[4]. Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hlm. 833.
[5]. HR. Bukhari kitab Riqaq bab sakaratul maut (6510) dan kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[6]. HR. Bukhari kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[7]. HR. Tirmidzi kitab Janaiz bab penderitaan dalam kematian (979). Lihat Shahih Sunan Tirmidzi (1/502 no: 979).
[8]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/50-51).
[9]. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
[10]. Tafsiru Al Quranil ‘Azhim (4/100-101).
[11]. Adhwaul Bayan (3/266).
[12]. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (11/363).
[13]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/48-50) dengan diringkas
[14]. HR. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, 4 July 2016


 
Ada berapa hari raya yang disyariatkan di dalam Islam?

Ada dua sahaja iaitu hari raya fitrah (عيد الفطر) pada 1 Syawal dan hari raya korban (يومَ الأضحْى) pada 10 Dzul-Hijjah. Dalilnya ialah hadis dari Anas r.a. yang menceritakan; tatkala Nabi s.a.w. tiba di Madinah (selepas hijrahnya), penduduk Madinah mempunyai dua hari kebesaran di mana mereka menyambutnya dengan mengadakan permainan-permainan. Lalu baginda bertanya mereka; “Hari apakah yang kamu sambut ini?”. Mereka menjawab; “Dua hari yang kami biasa menyambutnya (dengan mengadakan permainan) pada masa jahiliyah”. Maka Nabi s.a.w. bersabda kepada mereka;

قَدْ أَبْدلَكمُ الله بِهِمَا خَيْراً منهما: يومَ الأضحْى ويوْمَ الْفِطْر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kamu dua hari yang lebih baik dari dua hari (yang kamu sambut) itu iaitu; hari raya korban dan hari raya fitrah”. (Riwayat Imam Abu Daud dan an-Nasai dengan sanad yang soheh)

Kenapa hari raya dinamakan ‘Id (العيد) dalam bahasa Arab?

Al-‘Id (العِيْد) adalah pecahan dari kalimah al-‘aud (العَوْد) yang bermaksud kembali. Dinamakan hari raya dengan nama demikian kerana ia kembali (yakni berulang-ulang) pada setiap tahun atau kerana kegembiraan akan datang kembali dengan munculnya hari raya pada setiap tahun.

Apa yang sunat dilakukan pada malam hari raya?

Disunatkan menghidupkan malam dua hari raya (yakni hari raya fitrah dan hari raya korban) dengan ibadah sama ada mengerjakan solat-solat sunat, membaca al-Quran, berzikir dan sebagainya. Ini kerana terdapat hadis di mana Nabi s.a.w. bersabda;

مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ الأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Sesiapa menghidupkan malam hari raya fitrah dan malam hari raya korban, nescaya tidak akan mati hatinya pada hari mati hati-hati”. (Riwayat Imam at-Thabrani dari ‘Ubadah r.a.)

Yang dimaksudkan mati hati ialah terbelenggu hati dengan dunia. Ada yang berpendapat maksudnya ialah menjadi kafir. Dan ada juga yang memberi erti; ketakutan hari kiamat.

Selain itu, digalakkan juga memperbanyakkan doa pada malam hari raya kerana doa pada malam tersebut adalah mustajab. Imam Syafi’ie berkata di dalam kitabnya al-Umm; “Telah sampai kepada kami bahawa dikatakan; ‘Sesungguhnya terdapat lima malam dimustajabkan doa iaitu; pada malam jumaat, malam hari raya korban, malam hari raya fitrah, malam pertama bulan Rejab dan malam nisfu Sya’ban’”. (Mughni al-Muhtaj, jil. 1, hlm. 426, al-Majmu’, 5/47).

Adakah harus berpuasa pada hari raya?

Diharamkan berpuasa pada hari raya sama ada hari raya fitrah atau hari raya korban. Ini kerana hari raya adalah hari menikmati makanan dan minuman. Terdapat hadis dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan;

أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: نَهَىَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمِ الأَضْحَىَ وَيَوْمِ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menegah dari berpuasa pada dua hari; hari raya korban dan hari raya fitrah” (Riwayat Imam Muslim).

Apakah amalan-amalan yang sunat dilakukan pada hari raya?

1. Menyambut hari raya dengan laungan takbir dan memuji Allah

Pada hari raya kita digalakkan bersungguh-sungguh membesarkan Allah dengan melaungkan takbir, tahlil, tahmid dan tasbih. Sabda Nabi s.a.w.;

زَيِّنُوْا الْعَيْدَيْنِ بِالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّقْدِيْسِ
“Kamu hiasilah dua hari raya dengan tahlil, takbir, tahmid dan taqdis”. (Riwayat Abu Na’im dari Anas r.a.)

Ini menjadi petanda kepada kita bahawa hari raya di dalam Islam adalah hari untuk mengagungkan Tuhan dan menzahirkan syiar agama, bukan hari untuk berseronok dan bersuka-ria semata-mata.

Takbir pada hari raya ada dua jenis;

a) Takbir Mursal atau Muthlaq (المرسل أو المطلق) iaitu takbir yang tidak terikat dengan sesuatu keadaan di mana ia dilaungkan dengan suara yang kuat di jalan-jalan raya, di masjid-masjid, di pasar-pasar, di rumah dan sebagainya di waktu siang atau malam.

b) Takbir Muqayyad (المقيد) iaitu yang dilaungkan selepas menunaikan solat sahaja.

Kedua-dua jenis takbir ini akan kita huraikan di hujung nanti di bawah tajuk khusus.

2. Mandi sunat

Disunatkan mandi hari raya sekalipun tidak berhasrat untuk menghadiri majlis solat hari raya kerana hari raya adalah yaum az-zinah iaitu hari perhiasan. Sunat mandi ini adalah berdasarkan amalan sahabat di mana Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’ yang menceritakan;

أَ
نَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَاْنَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ
“Sesungguhnya Ibnu Umar r.a. mandi pada hari raya fitrah sebelum keluar pada pagi hari raya”. (Riwayat Imam Malik dalam al-Muwatta’. Menurut Imam Nawawi; atsar ini adalah soheh)

Begitu juga dikiaskan kepada mandi hari jumaat. Selain dari mandi disunatkan juga menggunting atau mencukur rambut, memotong kuku dan menghilang bau-bau di badan dan pakaian kerana hari tersebut adalah hari raya, maka disunatkan perkara-perkara tersebut dengan dikiaskan kepada hari jumaat. Menurut Imam Ibnu Rusyd; sunat mandi hari raya adalah ijma’ ulamak. (Lihat; Bidayatul-Mujtahid, jil. 1, hlm. 283).

Bilakah masanya untuk mandi?

Masuknya waktu disunatkan mandi ialah apabila tiba tengah malam. Berkata Imam al-Muzani; “Aku menyukai agar mandi hari raya itu dilakukan selepas terbit fajar” (al-Majmu’, 5/10).

3. Berwangi-wangian dan dan memakai pakaian baru.

Berdalilkan hadis dari Hasan bin Ali r.a. –cucu Rasulullah- yang menceritakan; “Rasulullah s.a.w. memerintahkan kami pada dua hari raya supaya memakai pakaian sehabis elok yang kami perolehi, berwangi dengan wangian paling harum yang kami perolehi dan supaya kami menyembelih korban dengan binatang paling gemuk yang kami miliki”. (Riwayat Imam al-Hakim dan at-Thabrani).

Berkata Imam Ibnul-Qayyim; “Nabi s.a.w. memakai untuk dua hari raya pakaian baginda yang paling cantik. Baginda mempunyai jubah khusus yang dipakai baginda untuk dua hari raya dan juga hari jumaat”.

Adakah berwangian dan berbaju baru itu hanya disunatkan untuk orang yang ingin keluar mengerjakan solat hari raya sahaja?

Tidak. Ia disunatkan kepada semua orang termasuk yang tinggal di rumah kerana hari raya adalah hari perhiasan (يوم الزينة). Bagi yang memiliki hanya satu pakaian, ia disunatkan membasuh pakaian itu untuk hari raya sebagaimana juga hari jumaat.

4. Beramai-ramai menghadiri tempat solat hari raya

Disunatkan pada hari raya umat Islam keluar beramai-ramai ke tempat solat hari raya termasuk kaum wanita (sama ada tua atau muda, yang berkahwin atau belum berkahwin, yang suci atau dalam haid) untuk sama-sama bertakbir, mendengar khutbah dan berdoa. Ummu ‘Athiyyah r.a. menceritakan;

“Kami (para wanita di zaman Nabi s.a.w.) diperintahkan supaya keluar pada hari raya (ke tempat solat) sehingga kami mengeluarkan anak gadis dari tabir/tirainya (*yakni kami mengeluarkan anak gadis kami dari biliknya untuk membawa mereka bersama-sama ke tempat solat), dan sehingga perempuan-perempuan yang kedatangan haid juga turut sama keluar di mana mereka duduk di belakang orang ramai; bertakbir bersama dengan takbir mereka dan berdoa bersama dengan doa-doa mereka serta mengharapkan keberkatan hari tersebut dan kesuciannya” (Riwayat Imam Bukhari).

Di mana ditempatkan wanita yang dalam haid?

Wanita yang kedatangan haid, mereka hendaklah ditempatkan di bahagian belakang orang ramai dan dipisahkan dari tempat sembahyang atau masjid. Menurut Imam Nawawi; kedudukan mereka hanya setakat pintu masjid sahaja. Sabda Rasulullah s.a.w.; “Adapun wanita-wanita yang haid, maka mereka hanya turut sama menghadiri perhimpunan kaum muslimin dan doa mereka dan mereka duduk terpisah dari tempat sembahyang orang ramai”. (Riwayat Imam Bukhari dari Ummu ‘Athiyyah r.a.)

Dalam riwayat yang lain; “Dan wanita-wanita haid hendaklah berada di belakang orang ramai di mana mereka bertakbir bersama mereka” (Riwayat Imam Muslim dan Abu Daud dari Ummu ‘Athiyyah r.a.).

Adakah harus wanita keluar dengan bersolek?

Tidak harus kaum wanita keluar dengan bersolek, bertabarruj dan berwangian. Sabda Rasulullah s.a.w.; “Janganlah kamu menegah hamba-hamba Allah yang perempuan (yakni kaum muslimat) dari mendatangi rumah-rumah Allah. Namun hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak berwangian”. (Riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud)

Adakah harus keluar jika dikhuatiri mendatangkan fitnah? Bagaimana dengan wanita yang dalam eddah kematian suami?

Tidak harus mereka keluar jika dikhuatiri boleh mendatangkan fitnah. Begitu juga, tidak harus keluar wanita yang masih berada dalam iddah kematian suaminya.

Adakah kanak-kanak juga sunat dibawa bersama?

Ya, sunat membawa bersama kanak-kanak yang telah mumayyiz.

5. Keluar awal ke tempat solat (kecuali imam)

Disunatkan hadir ke masjid atau tempat solat awal pagi selepas subuh kecuali imam di mana ia disunatkan hadir pada waktu solat hari raya hendak dilaksanakan.

Imam disunatkan hadir lebih awal –untuk memimpin solat- pada hari raya korban supaya solat dapat dilakukan lebih awal dan dengan itu dapat memanjangkan waktu untuk melaksanakan ibadah korban (kerana binatang korban sunat disembelih selepas imama selesai dari solat hari raya). Adapun pada hari raya fitrah, imam disunatkan melewatkan sedikit hadir untuk memimpin solat bagi memberi lebih masa kepada kaum muslimin untuk membayar zakat fitrah (kerana zakat fitrah afdhal dikeluarkan sebelum solat hari raya).



6. Menikmati juadah sebelum keluar (khusus bagi hari raya fitrah)

Disunatkan pada hari raya fitrah menikmati sedikit makanan sebelum keluar ke masjid atau tanah lapang bagi menunaikan solat. Sebaik-baiknya memakan buah tamar dan dengan bilangan yang ganjil. Adapun pada hari raya korban disunatkan menahan diri dari makan sehinggalah pulang dari menunaikan solat hari raya.

Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah dari bapanya r.a. (seorang sahabat) yang menceritakan; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. tidak keluar pada hari raya fitrah melainkan setelah baginda makan dan baginda tidak makan pada hari raya korban melainkan setelah beliau pulang”. (Riwayat Imam Ibnu Majah dan at-Tirmizi. Hadis ini adalah hasan menurut Imam Nawawi)

Anas r.a. juga menceritakan; “Adalah Rasulullah s.a.w. tidak keluar pada pagi hari raya fitrah melainkan setelah baginda makan beberapa biji tamar. Baginda makan tamar-tamar itu dengan bilangan yang ganjil’”. (Riwayat Imam Bukhari)

7. Keluar berjalan kaki dan melalui jalan berbeza ketika pulang

Disunatkan pergi ke tempat solat atau ke masjid dengan berjalan kaki dalam keadaan tenang. Apabila pulang, disunatkan melalui jalan yang lain dari jalan yang dilalui ketika pergi tadi. Ibnu ‘Umar r.a. menceritakan; “Rasulullah s.a.w. keluar untuk menunaikan solat hari raya dengan berjalan kaki dan pulang dengan berjalan kaki”. (Riwayat Imam Ibnu Majah)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir r.a.; “Adalah Nabi s.a.w. pada hari raya baginda melalui jalan yang berbeza (yakni ketika pergi melalui satu jalan dan ketika pulang melalui jalan yang lain)”. Dari Ibnu ‘Umar r.a.; “Sesungguhnya Rasulullah pada hari raya melalui satu jalan (ketika keluar menunaikan solat hari raya), kemudian baginda pulang dengan melalui jalan yang lain”. (Riwayat Imam Abu Daud dan al-Hakim)

Antara hikmahnya menurut ulamak ialah; supaya kedua-dua jalan serta penduduk sekitarnya dari kalangan manusia dan jin menjadi saksi kepada baginda dan juga untuk menzahirkan syiar Islam.

8. Segera mengeluarkan zakat fitrah sebelum solat hari raya.

Disunatkan bersegera mengeluarkan zakat fitrah sebelum solat hari raya dikerjakan. Ibnu Umar r.a. menceritakan; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menyuruh agar dikeluarkan zakat fitrah sebelum keluar pada pagi hari raya untuk mengerjakan solat”. (Riwayat Imam at-Tirmizi)

Mengeluarkan zakat fitrah selepas selesai solat hukumnya adalah makruh di sisi imam mazhab empat. Malah ada pandangan menyatakan; haram.

9. Menyembelih korban (bagi hari raya korban)

Digalakkan menyembelih korban pada hari raya korban dengan seekor kambing atau sebagainya bagi orang-orang yang mampu.

Barra’ bin ‘Azib r.a. menceritakan; “Rasulullah s.a.w. telah berkhutbah kepada kami pada hari raya korban di mana baginda bersabda; “Sesungguhnya perkara pertama untuk kita memulakan hari kita ini ialah dengan kita menunaikan solat (yakni solat hari raya), kemudian kita pulang dan berikutnya kita menyembelih korban….”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)

10. Mengucapkan tahniah, menzahirkan kegembiraan dan bersalam-salaman

Digalakkan pada hari raya mengucapkan tahniah sempena kedatangan hari raya, melahirkan rasa gembira dan seronok dan bersalam-salaman sesama kaum muslimin. Mengucapkan tahniah bersempena kedatangan hari raya adalah amalan para sahabat, oleh itu ia disyari’atkan. Al-Hafidz ibnu Hajar berkata; kami meriwayatkan dengan sanad yang baik (hasan) dari Jubair bin Nufair yang menceritakan; “Adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. apabila saling bertemu pada hari raya, maka berkata sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain; ‘Semoga Allah menerima dari kami dan dari kamu’”. (Fathul-Bari ‘ala Soheh al-Bukhari)

Adapun galakan bersalam-salaman adalah berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. yang bersabda; “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa, lalu mereka berdua saling berjabat tangan melainkan akan diampunkan bagi kedua-dua mereka sebelum mereka berpisah lagi”. (Riwayat Imam Abu Daud dari Anas r.a. dengan sanad yang soheh menurut Imam Nawawi)

Mengenai galakan menzahirkan kegembiraan, terdapat hadis Rasulullah s.a.w. yang menyebutkan; “Senyumanmu di hadapan wajah saudara kamu adalah sedekah bagimu”. (Riwayat Imam at-Tirmizi dari Abu Zarr r.a.)

Adakah harus mengerjakan solat sunat sebelum dan selepas menunaikan solat hari raya?

1. Bagi imam, dimakruhkan melakukan sebarang solat sunat sebelum dan selepas mengerjakan solat hari raya kerana berlawanan dengan sunnah Nabi s.a.w.. Ibnu ‘Abbas r.a. menceritakan; “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. keluar pada hari raya korban dan hari raya fitrah, lalu baginda menunaikan solat sunat hari raya dua rakaat. Baginda tidak mengerjakan sebarang solat sebelumnya dan begitu juga selepasnya”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)

Malah apabila ia sampai di masjid tidak perlu ia menunaikan solat tahiyyatal-masjid, akan tetapi terus memimpin solat hari raya. Solat tahiyyatal-masjid dengan sendirinya terhasil bersama solat hari raya itu.

2. Adapun selain dari imam, tidaklah dimakruhkan mengerjakan solat sunat sebelum atau selepas solat hari raya. Ini kerana waktu tersebut bukanlah waktu yang ditegah mengerjakan solat. Selain itu, terdapat riwayat dari Abu Barzah yang menceritakan bahawa Anas r.a., al-Hasan r.a. dan Jabir bin Zaid r.a. mengerjakan solat pada hari raya sebelum keluarnya imam.

Adakah harus bergembira pada hari raya?

Harus, malah disunatkan, akan tetapi hendaklah tidak membabitkan perkara-perkara yang haram. Di dalam hadis Anas r.a. tadi diceritakan; tatkala Nabi s.a.w. tiba di Madinah (selepas hijrahnya), penduduk Madinah mempunyai dua hari kebesaran di mana mereka menyambutnya dengan mengadakan permainan-permainan. Lalu baginda bertanya mereka; “Hari apakah yang kamu sambut ini?”. Mereka menjawab; “Dua hari yang kami biasa menyambutnya (dengan mengadakan permainan) pada masa jahiliyah”. Maka Nabi s.a.w. bersabda kepada mereka; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kamu dua hari yang lebih baik dari dua hari (yang kamu sambut) itu iaitu; hari raya korban dan hari raya fitrah”. (Riwayat Imam Abu Daud dan an-Nasai dengan sanad yang soheh).

Di kitab Subulus-Salam, Imam As-Son’ani menyimpulkan berdasarkan hadis di atas; hadis ini menjadi dalil bahawa menzahirkan kegembiraan-kegembiraan ketika hari raya adalah disunatkan dan ia antara syari’at Allah kepada hambaNya. Ini kerana yang digantikan hanyalah hari raya. Adapun adat sambutan yang dilakukan oleh mereka iaitu mengadakan permainan-permainan (untuk menzahirkan keseronokan dan kegembiraan) tidak disentuh oleh Rasulullah s.a.w.. Ini menunjukkan ia adalah harus pada hari raya. Namun hendaklah dipastikan tidak ada unsur yang dilarang oleh Syarak dan tidak memalingkan dari ketaatan. (Subulus-Salam, jil. 1, bab. Solatul-Idaian).

Adakah harus mendengar nyanian dan berhibur pada hari raya?

Ya, harus dengan syarat nyanyian dan hiburan yang bersih dari maksiat dan munkar. Syeikh Ali as-Shobuni berkata; “Oleh kerana har-hari raya adalah hari keseronokan dan kegembiraan bagi kanak-kanak dan orang dewasa, lelaki dan juga wanita, maka Syarak telah mengharuskan hiburan yang bersih dan permainan yang tidak ada sebarang unsur maksiat padanya, bertujuan untuk menimbulkan kegembiraan dalam hati sekelian manusia, supaya mereka merasai kebesaran hari raya dan keindahannya”.

Saidatina Aisyah r.a. menceritakan; “Abu Bakar masuk kepadaku sedang bersamaku dua orang budak perempuan Ansar yang sedang menyanyi dengan syair/ungkapan yang saling diucapkan (antara dua puak) Ansar (yakni ‘Aus dan Khazraj) dalam peperangan Bu’ats. Aisyah menerangkan; mereka berdua bukanlah penyanyi. (Melihat hal tersebut), Abu Bakar lantas berkata; “Apakah serunai-serunai syaitan di rumah Rasulullah?”. Hari itu adalah hari raya. Maka Rasulullah s.a.w. berkata; “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita”. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)

Takbir pada hari raya

Apakah dalil disunatkan bertakbir pada hari raya?

Diantara dalilnya ialah riwayat dari Ummu ‘Athiyyah r.a. yang menceritakan; “Kami (para wanita) diperintahkan supaya keluar pada hari raya (ke tempat solat) sehingga kami mengeluarkan anak gadis dari tabir/tirainya (*yakni kami mengeluarkan anak gadis kami dari biliknya untuk membawa mereka bersama-sama ke tempat solat), dan sehingga perempuan-perempuan yang kedatangan haid juga turut sama keluar di mana mereka duduk di belakang orang ramai; bertakbir bersama dengan takbir mereka dan berdoa bersama bersama dengan doa-doa mereka serta mengharapkan keberkatan hari tersebut dan kesuciannya”. (Riwayat Imam Bukhari)

Siapakah yang disunatkan bertakbir?


Disunatkan bertakbir pada hari raya bagi lelaki dan perempuan, kanak-kanak (yang mumayyiz) dan orang dewasa, orang dalam negeri atau sedang bermusafir. Termasuklah wanita-wanita yang haid atau lelaki-lelaki yang berjunub. (al-Majmu’, 5/42).

Ketika bertakbir, adakah disunatkan meninggikan suara?

Ketika mengucapkan takbir disunatkan dengan suara yang tinggi untuk menzahirkan syi’ar agama. Diriwayatkan dari Nafi’ yang menceritakan;

كان ابن عمر يكبر يوم العيد في الأضحى والفطر ويكبر ويرفع صوته
“Adalah Ibnu Umar r.a. bertakbir pada hari raya korban dan juga hari raya fitrah; ia bertakbir dan meninggikan suaranya”. (Riwayat Imam ad-Daruqutni dan al-Baihaqi)

Namun dikecualikan kaum wanita; mereka hendaklah bertakbir dengan suara perlahan. Dalam kitab Kifayatul-Akhyar, pengarangnya menjelaskan; “Disunatkan mengangkat suara dengan takbir bagi para lelaki sahaja, tidak bagi perempuan”. (Lihat halaman 151)
Berapa jenis takbir hari raya?

Takbir pada hari raya ada dua jenis;

1. Takbir Mursal atau Muthlaq (المرسل أو المطلق) iaitu takbir yang tidak terikat dengan sesuatu keadaan di mana ia dilaungkan dengan suara yang kuat di jalan-jalan raya, di masjid-masjid, di pasar-pasar, di rumah dan sebagainya di waktu siang atau malam.

2. Takbir Muqayyad (المقيد) iaitu yang dilaungkan selepas menunaikan solat sahaja (sama ada solat fardhu, jenazah atau solat-solat sunat).

Bilakah bermulanya takbir mursal dan bila pula berakhir?

Takbir mursal atau muthlaq bermula sebaik sahaja terbenam matahari pada malam hari raya (sama ada hari raya fitrah atau hari raya korban), dan ia berterusan hinggalah apabila imam mula mengangkat takbir bagi menunaikan solat hari raya. Firman Allah;

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“…dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan), dan supaya kamu bertakbir membesarkan Allah kerana mendapat petunjukNya, dan supaya kamu bersyukur”. (al-Baqarah: 185)

Berkata para ulamak; ayat di atas menjadi dalil disunatkan melaungkan takbir pada hari raya fitrah dan dikiaskan kepadanya hari raya korban.

Bilakah bermulanya takbir muqayyad dan bila berakhir?

a) Bagi hari raya korban, takbir muqayyad bermula bermula dari solat subuh hari ‘Arafah (iaitu tanggal 9 Dzulhijjah) hinggalah selepas solat asar pada hari Tasyrik terakhir (yakni hari raya ke empat).

Diriwayatkan dari ‘Ali dan ‘Ammar r.a. yang menceritakan; “Sesungguhnya Nabi s.a.w. bertakbir bermula dari hari ‘Arafah (selepas) solat subuh dan memutuskannya (yakni berhenti bertakbir) selepas solat asar hari terakhir Tasyriq”. (Riwayat Imam al-Hakim. Menurut Imam al-Hakim; hadis ini sanadnya soheh)

b) Bagi hari raya fitrah, bermula dari solat maghrib pada malam hari raya dan berakhir selepas solat subuh pada pagi hari raya.

Adakah takbir hari raya dilaungkan selepas zikir solat atau sebelumnya?

Melaungkan takbir didahulukan dari membaca zikir-zikir selepas sembahyang bagi takbir muqayyad. Adapun takbir mursal, membaca zikir-zikir selepas solat didahulukan dari melaungkannya. (Lihat; al-Kifayah Li Zawil-‘Inayah, hlm. 85)

Apakah lafaz takbir yang sunat dilaungkan?

Ada dua pandangan ulamak;

Pandangan pertama (Imam Ahmad); Lafaznya ialah;

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد

Iaitu lafaz takbir (الله أكبر) hanya disebut dua kali sahaja. Lafaz ini berdalilkan riwayat dari Ibnu ‘Umar r.a. dan Ibnu Mas’ud r.a.. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abi al-Aswad yang menceritakan; “Adalah Abdullah bin Mas’ud r.a. bertakbir bermula dari solat subuh hari ‘Arafah hingga ke solat Asar hari an-Nahr (yakni hari raya korban) dengan melafazkan;
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
(Menurut Syeikh Syu’aib al-Arnaudh dan Syeikh ‘Abdul-Qadier al-Arnaudh; para perawi hadis ini adalah tsiqah. Lihat; Zadul-Ma’ad, jil. 1, hlm. 449, fasl Hadyihi s.a.w. fil-‘Idain).

Pandangan kedua (mazhab Syafi’ie); lafaznya ialah;

الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد
“Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Allah maha besar. Allah maha besar. Milik Allah lah segala puji-pujian”.

Iaitu lafaz takbir (الله أكبر) disebut tiga kali. Mengucapkan takbir tiga-tiga kali menurut Imam Abi Ishaq as-Syirazi adalah berdalilkan riwayat dari Ibnu Abbas r.a. (al-Muhazzab, bab at-Takbir). Berkata Imam Ibnu Hajar; “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas dan Jabir bertakbir tiga-tiga kali sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ad-Daruqutni dengan sanad yang dhaif. Dan telah berkata Imam Ibnu ‘Abdil-Barr; “Terdapat riwayat yang sahih dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud bahawa mereka melaungkan takbir tiga-tiga kali iaitu (الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر). (Lihat; tahqiq/ulasan Dr. Mahmud Matraji terhadap kitab al-Majmu’, bab at-Takbir, 5/36. Lihat juga; Nailul-Authar, 3/315).

Imam as-Syafi’ie dalam kitabnya al-Umm menyukai agar ditambah kepada takbir di atas selepas tiga kali mengucapkannya;

اللّه أكْبَرُ كَبيراً،والحَمْدُ لِلَّهِ كَثيراً، وَسُبْحانَ اللَّهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَلا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُون، لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللّه واللَّهُ أكْبَرُ
“Allah maha besar dengan sebesar-besarnya. Segala puji-pijian milik Allah dengan sebanyak-banyaknya. Maha suci Allah di waktu pagi dan petang. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Kami tidak menyembah melainkanNya sahaja dalam keadaan kami mengikhlaskan agama untukNya, sekalipun orang-orang kafir membenci. Tidak ada Tuhan melainkan Allah satu-satunya. Dia telah mengotakan janjiNya dan telah menolong hambaNya serta mengalahkan tentera-tentera bersekutu (dengan kekuasaanNya) semata-mata. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Allah maha besar”.

Tambahan ini menurut Imam Abu Ishaq as-Syirazi dalam al-Muhazzab, di ambil dari zikir Nabi s.a.w. ketika Sa’i di atas bukit Safa. (al-Majmu’, 5/36).